Saturday, June 03, 2006

Ketika Hidayah itu belum datang juga untuknya.

Dia begitu baik, baik sekali. Tutur katanya, caranya bersikap….semua orang dengan mudahnya merasa nyaman bersamanya.
Hmmm…..kalau teman saya bilang “ Nenek-nenek dari Hongkong juga jatuh cinta kalau mengenalnya”.

Saya telah mengenalnya sejak awal kuliah. Seperti orang lain, yang mudah dekat dengannya karena kebaikkannya, maka kami pun dengan mudahnya berteman kemudian bersahabat. Saya teringat ketika mengajaknya sholat diawal pertemanan kami dan dia menjawab sambil tersenyum “ Gw bukan muslim, Fan”.
Walau demikian Dia kerap mengingatkan saya untuk sholat, kadang membangunkan lewat telp “Fan, udah subuh..???”

Seiring dengan pertemanan yang semakin dekat, kami pun mulai merasa semakin nyaman untuk berdiskusi apa saja termasuk soal agama. Dalam diskusi kami, kadang tercetus ungkapan seperti,
“ Oh kalau di Islam ternyata seperti itu ya Fan”.
“ Kalau di agama gw Fan, bla….bla…”
Proses seperti ini terus berjalan sepanjang pertemanan kami.

Saya teringat ketika Dia terkaget-kaget melihat saya yang memutuskan untuk berhijab. Seribu satu pertanyaan dilontarkan, hanya untuk membuat dia merasa yakin bahwa Saya sadar sepenuhnya dengan keputusan saya.
Akhirnya satu kalimat penutup dia bilang “ Awas Lu ya, kalau sampai di lepas” dengan tatapan penuh kesungguhan.
Duh andai Dia muslim. Walau saya tidak peduli dengan perbedaan ini, kadang tak bisa dipungkiri ada saat dimana saya benar-benar berharap, andai dia juga muslim.

Pelan-pelan pengetahuannya tentang Islam semakin bertambah. Pertanyaan-pertanyaannya semakin berkembang membuat saya kewalahan untuk menjawabnya. Jangan ditanya betapa tergelitiknya saya untuk bertanya.
“Mengapa? Apa yang kamu cari sahabatku? Apa kamu benar-benar tertarik dengan Islam?’
Berkali-kali pula saya tahan diri untuk sekedar bertanya, karena sungkan, segan, dan rasanya berat sekali. Saya tidak mau dia berpikir saya menggunakan kesempatan ini untuk mengkonvertnya. Saya tidak mau lantas dia menarik diri dari ketertarikkannya pada Islam. Tapi di satu sisi, tak terbayangkan betapa senangnya dengan hujanan pertanyaannya tentang Islam. Lagi-lagi terbersit harapan andai Dia seorang muslim.

Ramadhan 2005, kebetulan saat itu saya sedang berada di Jakarta.

“Fan, masih punya Perry 7th edition?”
“ masih, kenapa emangnya?”
“Gw perlu nih, sepupu gw dia butuh buat skripsi.”
“ya udah elu ke rumah gw?”
“Elu yang kerumah gw deh fan, ntar kita buka puasa bareng.”
“Duh….males nih abis panas, puasa pula. Elu enak gak puasa.”
“Eh gw puasa lagi Fan”
“Puasa dari Hongkong, ya udah gw kerumah lu.”

Setelah memberikan buku yang dia minta, dia menawarkan untuk berbuka puasa bersama.
Di mobilnya saya menemukan CD Opick, waktu saya tanya, dia bilang, “bagus Fan, gw suka sama lagu-lagunya”. Lantas dia bercerita kalau dia juga suka AA Gym, karena isi-isi khutbahnya yang sangat universal dan menyentuh. Saya hanya tersenyum menanggapi ceritanya.

Dijalan, tiba-tiba dia bercerita.

“Fan, gw beneran puasa, lagi.”
“Ah, puasanya elu mah becandaan. Lagian kalau pun elu puasa, elu bisa buka kapan saja bukan. No obligation at all, right?”
“Gak gitu Fan, gw puasa ya sama dengan elu puasa. Gw sahur tadi pagi, Berhenti makan ketika imsak trus buka nya ya nanti pas maghrib”.
Saya terdiam mendengar penjelasannya.

Lantas dia berkata lagi, “Gw udah puasa gini dari 4 tahun yang lalu. Pol Fan, gak bolong.”

“Ya tapi atas dasar apa?”
“ Tanggung jawabnya apa elu puasa?”
“Kenapa elu harus puasa?“
“ Meaningnya apa?”
Sayangnya pertanyaan-pertanyaan ini hanya ada dalam hati saya. Saya tidak memiliki keberanian untuk benar-benar bertanya kepadanya. Walau saya senang mendengarnya. Oh mungkin dia sedang berusaha merasakan bagaimana rasanya menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Atau jangan-jangan…… batin saya terus menerka-nerka.

Lima menit menuju waktu berbuka, tangannya spontan merubah dari CD Opick yang sedang kami dengarkan ke channel radio.
“Kenapa di ganti?” Tanya saya.
“ Nanti azan maghribnya ketinggalan. Bentar lagi kan buka, Fan.”

Duh….dia bahkan benar-benar menunggu suara azan untuk berbuka. Ya Tuhan, ada apa ini? Apa dia sudah muslim?
3 tahun terpisahkan jarak dan kesibukan yang menyita waktu, membuat banyak hal tentangnya yang terlewati oleh saya. Mungkinkah dia telah…..
Well, tunggu Fan, kita lihat dulu. Kalau nanti dia sholat maghrib berarti dia memang telah muslim. Batin saya terus berharap.

Setelah berhenti sejenak untuk berbuka, saya memintanya mencari mesjid terdekat untuk sholat maghrib.
Sesampai di mesjid,

“Gw sholat dulu ya” ucap saya penuh harap, mudah-mudahan dia juga sholat…

Dan sambil tersenyum dia bilang “ Gw tunggu di mobil ya Fan.”

Ahh……ternyata Hidayah itu belum tiba baginya. Dia masihlah tetap dia yang dulu. Islam belum menjadi agamanya. Sambil membalas senyumnya saya pun beranjak masuk ke dalam mesjid.


Ya Allah, aku tahu ini sepenuhnya HakMu, tapi mengapa hidayah ini begitu sulit baginya? Salahkah aku bila berharap Engkau mau memberikan hidayahMu baginya?.


Dia menyentuh siapa pun yang ingin Dia sentuh, karena Dialah yang Maha Berkehendak.

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Dear Fanny, Allah Maha Mendengar, kan... Insya Allah, bila Fanny terus berdoa buat sang sahabat, hidayah itu bisa turun untuknya... bahagia rasanya kalau seorang seperti sang sahabat itu akhirnya bisa menjadi keluarga seiman kita... Insya Allah...

5:35 PM  

Post a Comment

<< Home